
Judul : Kiai sastrawan yang tak dikenal
Pengarang : Muhammad Subkhi dan Ahmad Sholihin
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Tahun : 2011
Cetakan : Pertama
Jumlah Halaman :122 halaman
Resensor : Fatikhudin
Kini, banyak banyak generasi muda
ayang tidak mengenal siapa guru leluhurnya. Mayoritas dari para remaja sekarang
lebih mengenal akrab dengan nama idolanya mereka masing-masing tanpa tahu siapa
orang berjasa dalam kehidupannya.
Peran tokoh
pesantren dalam melestarikan sebuah ilmu pengetahuan sangat besar sekali. Akan
tetapi kebanyakan dari masyarakat umum tidak mengenalnya. Buku ketiga dari
“Serial Tokoh Tebuireng” ini adalah salah satu usaha penulis agar jasa besar
para tokoh pesantren senantiasa dikenang bangsa adan negara.
Buku ini
menceritakan tentang biografi sosok KH. Abdul Karim Hasyim. Di kalangan
pesantren, Kiai Karim terkenal sebagai ahli bahasa dan sastra Arab. Beliau juga
produktif menulis dengan nama samaran Akarhanaf, singkatan dari Abdul Karim-Hasyim
Nafiqoh. Hasyim adalah nama ayahnya, sedangkan nafiqoh adalah nama sang ibu.
Selain menjadi seorang sastrawan, beliau juga seorang politikus.
Dalam dunia
perpolitikan beliau mempunyai peran sangat penting. Salah satu yang
kontrovesial adalah masuknya beliau ke partai Golkar pada tahun 70-an. Karena
kebanyakan dari kalangan pesantren pada saat itu berpartai islam. Konon, beliau
masuk Golkar karena diajak oleh salah satu pejabat dijombang, dengan
pertimbangan bahwa perjuangan islam tidak selamanya hanya dipesantren. Dakwah
juga tidak selamanya dipartai islam (hal 4). Menurut beliau itu merupakan
sebuah konsep saling menghargai antar ulama dan umara.
Selain
kontrovesial dalam berpolitik, dibuku ini juga diceritakan tentang perjalanan
Kiai Karim ketika menuntut ilmu. Cara beliau belajar sangat misterius. Terutama
ketika Mbah Hasyim (ayah beliau) memondokkannya ke Kajen Pati asuhan Kiai
Nawawi. Baru seminggu tinggal disana, beliau sudah pamit pulang. Ketika ditanya
sama Kiai Nawawi tentang siapa yang mengajar, beliau menggambarkannya dengan
sosok orang tua. Mendengar jawaban dari Kiai karim, Kiai Nawawi hanya diam
menyembunyikan rasa kagetnya. Ternyata beliau diajar ngaji oleh Mbah Mutamakkin
yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Proses belajar inilah yang
banyak dianggap sebagai karomah beliau.
Bahkan KH. Muchit Muzadi (salah satu
murid Kiai Karim) menunjukkan keheranan beliau dengan kualitas keilmuan Kiai
Karim pada saat itu.“saya kira salah satu karomak pak karim adalah satu,
belajar beliau dimana? Kok pada zaman seperti itu beliau bisa menguasai bahasa,
terutama bahasa arab. Padahal setahu saya beliau hanya belajar di Tebuireng
dengan para santri pada saat itu, disamping itu beliau juga ahli dalam bidang
fiqh dsb, hanya beliau nampak dibidang sastranya” (hal 27).
Beliau adalah
sosok Kiai yang akrab dengan para santrinya, beliau jarang sekali marah. Dalam
mengajar beliau selalu santun dalam berbahasa, karena beliau adalah ahli tata
bahasa arab dan beliau hafal syair-syair arab. Tak jarang beliau ,embacakan
syair atau puisi disela-sela waktu mengajar.
Itu adalah
sedikit ulasan mengenai buku ini. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan
coretan atau memoriam yang ditulis oleh putra-putri beliau, seperti Karimah
Karim, H. Hasyim karim, Cecep Karim Hasyim. Dan juga lampiran dan foto yang
bisa meningatkan kita pada sosok KH.
Abdul Karim Hayim. Jdi, buku ini cocok dibaca oleh siapa saja, pelajar,
masyarakata umum, terutama kaum santri yang sedang mengam pendidikan di
pesantren.