Rabu, 12 Agustus 2015

Sisi Lain Pendidikan Pesantren

         Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini adalah fitrah (suci), tanpa pengetahuan apapun. Dalam perjalanan hidup mereka harus mencari sesuatu yang dibutuhkan agar bisa terus hidup dalam dunia yang semakin banyak tantangan. Salah satu hal yang paling penting dalam hidup ialah pendidikan. Jika seseorang tanpa pendidikan, bisa dipastikan dia akan kesusahan dalam menjalani kehidupan sehari. Contoh yang paling kecil saja, petani. Mereka harus mempunyai keahlian, seperti mencangkul, cara menggunakan alat-alat pertanian dll. Kelihatannya memang mudah, tetapi ketika kita yang tidak terbiasa mencangkul dan menggunakan alat-alat pertanian tersebuat, maka akan kesulitan menggunakannya. Disini dapat kita ambil, bahwasanya sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan, pasti membutuhkan ilmu atau pendidikan. Wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah sepertinya kurang efesien jika pendidikan umum tidak diimbangi dengan pendidikan agama atau pendidikan pesantren. Telah banyak contoh dimasyarakat seseorang yang hanya mengenyam pendidikan umum tanpa mempelajari ilmu-ilmu agama, hasilnya setelah lulus kebanykan dari mereka menjadi pengangguran. Disisi lain faktor biaya menjadi hambatan sebagian dari mereka yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Karena kenyataannya banyak saudara-saudara kita yang mempunyai kelebihan tetapi tidak bisa sekolah. Bukan tidak mau sekolah, bukan malas sekolah, masalah yang utama mereka ialah terbentur dengan masalah biaya, sehinggamereka lebih memilih membantu orang tua untuk mencari nafkah buat makan sehari-hari, dari pada melanjutkan pendidikannya. Dalam belajar seseorang seharusnya bisa berfikir secara matang tentang pendidikan yang dijalaninya. Jangan sampai ketika sudah masuk satu Sekolah, Universitas, ataupun Pesantren, karena alsan tidak krasan, kemudian mereka meningglkan lembaga tersebut. Dalam budaya pesantren hal ini dianggap kurang baik, sebab dianggap meremehkan lembaga yang ditempatinya dan juga para pendirinya. Untuk mencari ilmu yang manfaat dan barokah, sering kali disalah artikan oleh prlajar yang kurang keilmuannnya dalam masalah agama. Ketika mereka melihat seoraang santri yang disuruh Kyainya melakukan hal-hal yang diluar nalar mereka. Seperti kalau santri zaman dulu disuruh ke sawah, disuruh menggembala kambing kyainya. Mensite mereka pasti akan menganggap bahwasanya hal itu tidak ada manfaatnya. Tetapi berbeda dengan orang yang pernah marasakan pahit manisnya hidup dipesantren, mereka pasti akan lebih memilih melakukan hal tersebut, sebab mereka tahu bahwa ilmu hikmah dan barokah itu tumbuh dari hal-hal yang kelihatan sepele itu.
Tujuan meninggalkan rumah untuk berangkat kepesantren tidak lain untuk mencari ilmu demi masa depan hidup. Seringkali orang yang awal nyantri belum memahaminya, yang ada dalam otak mereka hanyalah dapat ilmu agar bisa mendapat pekerjaan kemudian mendapatkan uang. Budaya kurang baik ini seharusnya dihilangkan dari fikiran kita, karena hanya merusak atau membuat sesuatu yang sudah kita rencanakan ketika masuk pesantren atau sebuah lembaga pendidikan. Salah satu yang harus diperhatikan dalam tholabul ilmi adalah melakukan apa yang diperintahkan oleh guru atau Kyai. Ilmu yang bermanfaat tidak akan pernah diperoleh jika tidak memuliakan ilmu dan ahlinya. Dalam Ta`lim Al Muta`alim disebutkan “mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan pernahmendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak akan bergumna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan tetrsebut dan juga menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya. Hormat kepada guru bukan hanya sekedar patuh. Sebagaiman dikatakan oleh Sayyidina Ali, “saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun itu hanya satu kata saja”. Banyak hal-hal yang terjadi dipesantren jika orang melihat seperti itu tidak mungkin. Salah satunya ialah barokah dari para Kyai adan Dzuriyahnya. Ini sering terjadi pada orang-orang dahulu, dimana mereka yang tinggal dipesantren untuk menambah wawasan mengenai ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar ingin pintar, akan tetapi ada tujuan yang lebih penting dari itu, yakni bagaimana ilmu yang sudah diperolehnya dengan perjuangan dan susah payah dapat berguna atau bermanfaat untuk masyarakat. Karena apalah gunanya ilmu banyak tetapi tidak bermanafaat. Untuk mencapai itu berbagai cara dilakukan, dari taqarrub kepada Allah dengan berdo`a agar diberi ilmu yang bermanfaat sampai melakukan riyadhoh-riyadhoh. Ngabdi kepada kyai terkadang lebih dipilih dari pada belajar selama bertahun-tahun, karena mereka tahu esensi yang terdapat dalam sebuah pengabdian.
Inilah salah satu hal yang menarik dari pendidikan karakter yang ada dipesantren yang tidak ada dilembaga-lembaga lain. Menyinergikan antara pendidikan yang ada pada umumnya dengan pendidikan pesantren ini sudah diterapkan dipesantren tebuireng, dimana saat itu antara tahun 1932 dan 1933, sewaktu KH Wahid Hasyim berumur 17 tahun, ia belajar 1 tahun di makkah. Sekembalinya di Tebuireng, ia mengusulkan kepada sang ayah yakni KH Hasyim Asy`ari suatu perubahan radikala dalam pengajaran dipesantren. Usul itu antara lain agagr sisitem bandongan diganti dengan sisitem tutorial yang sisitematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Ini berarti pengajaran dipesantren tidak terbatas hanya pengajian kitab-kitab klasik, melainkan para santri diajarkan lebih banyak lagi mata pelajaran umum. Pada tahun 1950, Kyai Wahid Hasyim menjelaskan usul perubahan itu sebagai berikut: mayoritas santri yang belajar di lembaga-lembaga pesantren tidak bertujuan menjadi ulama. Bagi mereka ini sebenarnya tidak perlu mempelajari bahasa arab dan kitab-kitab klasik dalam bahasa arab. Dengan demikian, mereka selama ini dianggap oleh Kyai wahid Hasyim melakukan sesuatu yang memboroskan waktu saja. Hadratus-syekh tidak menyetujui usul-usul Kyai Wahid Hasyim tersebut. Namun demikian, beliau menyetujuiusul Kyai Wahid Hsyim yang lain yaitu pendirian madrasah nidhomiyah pada tahun 1934 dimana pengajaran pengetahua umum merupakan 70 persen dari keseluruhan kurikulum. Tak hanya itu, beliau juga mendirkan perpustakaan dan menganjurkan para santri untuk memmbaca majalah, surat kabar sebanyak mungkin agar memperoleh penerangan baik soal ekonomi, sosial dan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Kemudian dalam sosial, pesantren mampu mendidik santri untuk lebih peka atau perduli lingkungan sekitar, karena mau tidak mau mereka akan menghadapinya kelak ketika sudah menamatkan pendidikannya dipesantren. Bersungguh-sungguh dipesantren harus dilakukan, dengan membuat target apa yang ingin dicapai, apa saja yang perlua dipersiapkan. Dan kesuksesan tergantung pada dirinya sendiri, terkadang ada santri berfikiran bahwa cukup dengan mendapat barokah tanpa adanya usaha belajar. Lha wong barokah itu datangnya dari usaha belajar kita, bagaimana bisa barokah itu datang sendiri tanpa belajar.
Masih banyak sisi lain yang menarik dari pendidikan pesantren, akan tetapi penulis membatasi bahwasanya lembaga pendidikan berbasis pesantren tidak hanya mempelajari kitab-kitab klasik saja, tetapi pesantren juga bisa memunculkan benih-benih pemimpin-pemimpin bangsa. Kesalahfahaman seseorang bahwa pesantren yang memasukkan pendidikan ilmu umum dianggap telah meninggalkan nilai-nilai kepesantrenan yang telah dibangun oleh para pendiri, padahal jika kita menilik kebelakang, tujuan dimasukkannya pendidikan ilmu-ilmu umum ini bukan meninggalkan nilai-nilai pesantren, akan tetapi lebih menitik beratkan agar pemimpin yang ditelurkan melalui pesantren bisa memimpin masyarakat dengan patuh kepada ajaran-ajaran agama islam, karena krisis kepemimpinan banyak terjadi, mereka yang notabennya pandai, pintar, dan mempunyai kehlian dalam bidangnya, tetapi tidak mengimbanginya dengan ajaran-ajaran islam. Maka muncullah pencuri (koruptor) dan teman-temannya.