Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini adalah fitrah (suci),
tanpa pengetahuan apapun. Dalam perjalanan hidup mereka harus mencari sesuatu
yang dibutuhkan agar bisa terus hidup dalam dunia yang semakin banyak
tantangan. Salah satu hal yang paling penting dalam hidup ialah pendidikan.
Jika seseorang tanpa pendidikan, bisa dipastikan dia akan kesusahan dalam
menjalani kehidupan sehari. Contoh yang paling kecil saja, petani. Mereka harus
mempunyai keahlian, seperti mencangkul, cara menggunakan alat-alat pertanian
dll. Kelihatannya memang mudah, tetapi ketika kita yang tidak terbiasa
mencangkul dan menggunakan alat-alat pertanian tersebuat, maka akan kesulitan
menggunakannya. Disini dapat kita ambil, bahwasanya sekecil apapun pekerjaan
yang kita lakukan, pasti membutuhkan ilmu atau pendidikan. Wajib belajar 9
tahun yang dicanangkan pemerintah sepertinya kurang efesien jika pendidikan
umum tidak diimbangi dengan pendidikan agama atau pendidikan pesantren. Telah
banyak contoh dimasyarakat seseorang yang hanya mengenyam pendidikan umum tanpa
mempelajari ilmu-ilmu agama, hasilnya setelah lulus kebanykan dari mereka
menjadi pengangguran. Disisi lain faktor biaya menjadi hambatan sebagian dari
mereka yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Karena kenyataannya
banyak saudara-saudara kita yang mempunyai kelebihan tetapi tidak bisa sekolah.
Bukan tidak mau sekolah, bukan malas sekolah, masalah yang utama mereka ialah
terbentur dengan masalah biaya, sehinggamereka lebih memilih membantu orang tua
untuk mencari nafkah buat makan sehari-hari, dari pada melanjutkan
pendidikannya. Dalam belajar seseorang seharusnya bisa berfikir secara matang
tentang pendidikan yang dijalaninya. Jangan sampai ketika sudah masuk satu
Sekolah, Universitas, ataupun Pesantren, karena alsan tidak krasan, kemudian
mereka meningglkan lembaga tersebut. Dalam budaya pesantren hal ini dianggap
kurang baik, sebab dianggap meremehkan lembaga yang ditempatinya dan juga para
pendirinya. Untuk mencari ilmu yang manfaat dan barokah, sering kali disalah
artikan oleh prlajar yang kurang keilmuannnya dalam masalah agama. Ketika
mereka melihat seoraang santri yang disuruh Kyainya melakukan hal-hal yang
diluar nalar mereka. Seperti kalau santri zaman dulu disuruh ke sawah, disuruh
menggembala kambing kyainya. Mensite mereka pasti akan menganggap bahwasanya
hal itu tidak ada manfaatnya. Tetapi berbeda dengan orang yang pernah marasakan
pahit manisnya hidup dipesantren, mereka pasti akan lebih memilih melakukan hal
tersebut, sebab mereka tahu bahwa ilmu hikmah dan barokah itu tumbuh dari
hal-hal yang kelihatan sepele itu.
Tujuan meninggalkan rumah untuk berangkat kepesantren tidak lain
untuk mencari ilmu demi masa depan hidup. Seringkali orang yang awal nyantri
belum memahaminya, yang ada dalam otak mereka hanyalah dapat ilmu agar bisa
mendapat pekerjaan kemudian mendapatkan uang. Budaya kurang baik ini seharusnya
dihilangkan dari fikiran kita, karena hanya merusak atau membuat sesuatu yang
sudah kita rencanakan ketika masuk pesantren atau sebuah lembaga pendidikan.
Salah satu yang harus diperhatikan dalam tholabul ilmi adalah melakukan
apa yang diperintahkan oleh guru atau Kyai. Ilmu yang bermanfaat tidak akan
pernah diperoleh jika tidak memuliakan ilmu dan ahlinya. Dalam Ta`lim Al
Muta`alim disebutkan “mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu
ingat bahwa mereka tidak akan pernahmendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya
tidak akan bergumna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan
tetrsebut dan juga menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya. Hormat
kepada guru bukan hanya sekedar patuh. Sebagaiman dikatakan oleh Sayyidina Ali,
“saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun itu hanya satu kata
saja”. Banyak hal-hal yang terjadi dipesantren jika orang melihat seperti itu
tidak mungkin. Salah satunya ialah barokah dari para Kyai adan Dzuriyahnya. Ini
sering terjadi pada orang-orang dahulu, dimana mereka yang tinggal dipesantren
untuk menambah wawasan mengenai ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar ingin
pintar, akan tetapi ada tujuan yang lebih penting dari itu, yakni bagaimana
ilmu yang sudah diperolehnya dengan perjuangan dan susah payah dapat berguna
atau bermanfaat untuk masyarakat. Karena apalah gunanya ilmu banyak tetapi
tidak bermanafaat. Untuk mencapai itu berbagai cara dilakukan, dari taqarrub
kepada Allah dengan berdo`a agar diberi ilmu yang bermanfaat sampai
melakukan riyadhoh-riyadhoh. Ngabdi kepada kyai terkadang lebih dipilih
dari pada belajar selama bertahun-tahun, karena mereka tahu esensi yang
terdapat dalam sebuah pengabdian.
Inilah salah satu hal yang menarik dari pendidikan karakter yang
ada dipesantren yang tidak ada dilembaga-lembaga lain. Menyinergikan antara
pendidikan yang ada pada umumnya dengan pendidikan pesantren ini sudah
diterapkan dipesantren tebuireng, dimana saat itu antara tahun 1932 dan 1933,
sewaktu KH Wahid Hasyim berumur 17 tahun, ia belajar 1 tahun di makkah. Sekembalinya
di Tebuireng, ia mengusulkan kepada sang ayah yakni KH Hasyim Asy`ari suatu
perubahan radikala dalam pengajaran dipesantren. Usul itu antara lain agagr
sisitem bandongan diganti dengan sisitem tutorial yang sisitematis dengan
tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Ini berarti
pengajaran dipesantren tidak terbatas hanya pengajian kitab-kitab klasik,
melainkan para santri diajarkan lebih banyak lagi mata pelajaran umum. Pada
tahun 1950, Kyai Wahid Hasyim menjelaskan usul perubahan itu sebagai berikut:
mayoritas santri yang belajar di lembaga-lembaga pesantren tidak bertujuan
menjadi ulama. Bagi mereka ini sebenarnya tidak perlu mempelajari bahasa arab
dan kitab-kitab klasik dalam bahasa arab. Dengan demikian, mereka selama ini
dianggap oleh Kyai wahid Hasyim melakukan sesuatu yang memboroskan waktu saja.
Hadratus-syekh tidak menyetujui usul-usul Kyai Wahid Hasyim tersebut. Namun
demikian, beliau menyetujuiusul Kyai Wahid Hsyim yang lain yaitu pendirian madrasah
nidhomiyah pada tahun 1934 dimana pengajaran pengetahua umum merupakan 70
persen dari keseluruhan kurikulum. Tak hanya itu, beliau juga mendirkan
perpustakaan dan menganjurkan para santri untuk memmbaca majalah, surat kabar
sebanyak mungkin agar memperoleh penerangan baik soal ekonomi, sosial dan
politik, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Kemudian dalam sosial, pesantren mampu mendidik santri untuk lebih
peka atau perduli lingkungan sekitar, karena mau tidak mau mereka akan menghadapinya
kelak ketika sudah menamatkan pendidikannya dipesantren. Bersungguh-sungguh
dipesantren harus dilakukan, dengan membuat target apa yang ingin dicapai, apa
saja yang perlua dipersiapkan. Dan kesuksesan tergantung pada dirinya sendiri,
terkadang ada santri berfikiran bahwa cukup dengan mendapat barokah tanpa
adanya usaha belajar. Lha wong barokah itu datangnya dari usaha belajar
kita, bagaimana bisa barokah itu datang sendiri tanpa belajar.
Masih banyak sisi lain yang menarik dari pendidikan pesantren, akan
tetapi penulis membatasi bahwasanya lembaga pendidikan berbasis pesantren tidak
hanya mempelajari kitab-kitab klasik saja, tetapi pesantren juga bisa
memunculkan benih-benih pemimpin-pemimpin bangsa. Kesalahfahaman seseorang
bahwa pesantren yang memasukkan pendidikan ilmu umum dianggap telah
meninggalkan nilai-nilai kepesantrenan yang telah dibangun oleh para pendiri,
padahal jika kita menilik kebelakang, tujuan dimasukkannya pendidikan ilmu-ilmu
umum ini bukan meninggalkan nilai-nilai pesantren, akan tetapi lebih menitik
beratkan agar pemimpin yang ditelurkan melalui pesantren bisa memimpin
masyarakat dengan patuh kepada ajaran-ajaran agama islam, karena krisis
kepemimpinan banyak terjadi, mereka yang notabennya pandai, pintar, dan
mempunyai kehlian dalam bidangnya, tetapi tidak mengimbanginya dengan
ajaran-ajaran islam. Maka muncullah pencuri (koruptor) dan teman-temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar